SEJARAH SINGKAT KELURAHAN KEDUNGKANDANG

SEJARAH SINGKAT    KELURAHAN KEDUNGKANDANG

Berdasarkan surat keputusan Menteri Dalam Negeri No: 140-150 tanggal 22 Nopember 1980 dan NO: 140-135 tanggal 14 Pebruari 1981 tentang perubahan status Desa menjadi Kelurahan, maka dengan demikian untuk Desa Kedungkandang berubah menjadi Kelurahan Kedungkandang .

Berikut dibawah ini sekelumit sejarah singkat asal mula nama Kedungkandang.

–       Dahulu kala dilereng Gunung Buring terdapat dukuh Amprong dan dukuh Bango. Nama-nama tersebut merupakan nama sungai yang mengalir ditengah-tengah dukuh tersebut dan yang kita kenal sampai sekarang dengan sebutan sungai Amprong dan Bango.

Kehidupan kala itu rukun tentram damai serta diwarnai rasa persaudaraan, jiwa kegotong royonganpun masih kuat. Tanahnya subur lojinawe, keyakinan–keyakinan terhadap agamapun masih kuat, disamping masyarakatnya masyarakat agamis, namun peradabannya masih primitif, masih sederhana dan terbelakang. Dan penduduknya yang masih yakin terhadap benda-benda keramat/batu-batu besar /kayu-kayu besar kesemuanya masih dianggap keramat masih dianggap bisa mendatangkan keuntungan rizki yang banyak dan bisa untuk mengadu nasib . KATANYA !

Dengan adanya keterbelakangan tersebut juga masih memperkuat hal-hal yang berbau mistik, hal-hal tahayulpun masih dipercayai. Konon menurut cerita-cerita orang tua dahulu, dibagian selatan pendukuhan tersebut, kira-kira dalam perjalanan 1 hari (jalan kaki), waktu itu masih belum ada kendaraan yang ada cuma cikar.

Disana terdapat beberapa Desa yang sangat luas sekali namun kurang produktif untuk bercocok tanam. Dikarenakan tanahnya sangat kering , tanamanpun banyak yang mati kekeringan kekurangan air, tanaman bisa tumbuh subur terbatas bila musim penghujan saja. Akan tetapi sebaliknya bila sudah musim kemarau tiba, jangankan untuk mengairi lahan atau tanamaan, untuk keperluan sehari-hari mandi dan minum saja sangat sulit didapatinya .

Hal seperti itu sudah dialami dan dirasakan oleh masyarakatnya sudah bertahun-tahun bahkan mungkin berabad-abad dan penderitaanpun tidak ada hentinya.

Pepatah mengatakan :

“BAHWA TUHAN TIDAK AKAN MERUBAH NASIB SATU KAUM, SEHINGGA MEREKA ITU MERUBAH NASIBNYA SENDIRI”

Akhirnya para petani bersama-sama sesepuh Dusun / Tokoh – tokoh Agama / Tokoh-tokoh Masyarakat mengadakan pertemuan, musyawarah mencari jalan keluar, sebagaimana caranya untuk mendapatkan air.

Hasil musyawarah disepakati bersama uantuk mengajukan kepada pemerintah, waktu itu tampuk pimpinan pemerintahan masih dipegang oleh pemerintah Kolonial Belanda, sebab satu-satunya jalan untuk pengadaan aliran sungai harus ditangani oleh pemerintah.

Setelah dilaksanakan permohonan kepada pemerintah. Permohonan tersebut disanggupi dan diusahakan sesuai kemampuan setelah melalui penelitian – penelitian dan lain sebagainya.

Namun pemerintah waktu itu sangat sulit sekali untuk mencari jalan keluar. Setelah berhari-hari / berbulan-bulan pengadaan penelitihan dari mana air itu dapat disalurkan, akhirnya sampailah mereka dilembah sungai Amprong dan sungai Bango yang secara kebetulan dua sungai tersebut lokasinya sangat berdekatan dan airnya sangat jernih.

Namun yang sangat mengagetkan bahwa dihulu sungai Amprong terdapat semacam waduk atau bahasa Jawa disebut KEDUNG yang sangat dalam sekali dan banyak dihuni bermacam-macam ikan dan diatasnya banyak ditumbuhi pepohonan yang besar-besar dan sangat rindang sekali. Hawanya sangat sejuk sekali.

Menurut penelitian sementara agaknya sangat sulit sekali untuk mengalirkan sungai itu ke wilayah bagian selatan dukuh tersebut. Kemudian pemerintah waktu itu mengadakan rapat darurat dan disepakati bahwa satu-satunya jalan keluar adalah harus membendung sungai (Kedung) itu sebagai jalan keluarnya (jalan pintas). Maka terlaksanalah pekerjaan tersebut dengan tenaga manusia yang juga libatkan masyarakat setempat yang berjalan sangat lama sekali.

Konon yang menjadi idaman dan harapan masyarakat dan pemeritah merupakan impian belaka tidak membuahkan hasil apa yang menjadi harapan. Seringkali gagal, pekerjaan begitu hampir selesai selalu bongkar total tidak mampu dan tidak tahan menahan besarnya arus sungai yang mengalir, begitulah seterusnya, akhirnya para tenaga pelaksana maupun pemerintah waktu itu merasa putus asa, bahwa proyek bendungan itu tidak dapat dilanjutkan mengingat tidak sedikit kerugian materi dan maupun korban jiwapun juga banyak. Menurut cerita para sesepuh, bahwa lokasi (KEDUNG) tersebut sangat angker dan berbahaya. Banyak sekali makhluk-makhluk halus yang bemukim dilokasi itu dan yang paling mengerikan sipenjaga (DANYANGNYA) tidak terima kalau proyek bendungan itu dilanjutkan, keluarga danyangnya merasa dirugikan, sehingga bila hal itu dilanjutkan kemungkinan korban jiwa akan lebih besar lagi dan tidak mungkin bisa dielakkan, Katanya !

Bisa berhasil sesuai dengan harapan namun harus melalui bermacam-macam persyaratan yang sangat berat dan tidak mungkin bisa dilaksanakan.

Maklumlah kepercayaan masyarakat waktu itu masih kuat dan percaya betul terhadap hal-hal yang sifatnya tahayul.

Setelah bermacam-macam cara dan upaya ditempuhnya, untuk sementara proyek dihentikan beberapa bulan bahkan beberapa tahun lamanya. Akan tetapi hal tersebut tidak berhenti disitu saja, bahkan tokoh masyarakatnya sebagian besar banyak yang berusaha dan sangat prihatin sekali untuk mencari jalan keluar.

Kebetulan disekitar pendukuhan tersebut ada semacam peguron (perguruan) yang dihuni oleh orang kakek yang sangat sakti menurut penuturan warga setempat, diperkirakan umurnya kurang lebih 157 Tahunan, entah dukun atau ahli Nujum atau Orang Alim Ulama besar, namun tidak dijelaskan secara mendetail, yang jelas ia adalah seorang yang sangat sakti yang dianggap bisa memberikan fatwa-fatwa atau memberikan petunjuk-petunjuk dan saran terhadap masyarakat.

Lalu mereka berduyun-duyun mendatangi rumah kakek itu untuk mendapatkan saran atau petunjuk yang diperlukan, dan kalau perlu diminta ia ikut melibatkan dia didalam pelaksanaan proyek raksasa tersebut.

CERITANYA SEBAGAI BERIKUT :

Setelah ia menyanggupi apa yang menjadi permintaan warganya, selang beberapa hari ia mencari tempat yang dianggapnya keramat dan setrategis, supaya jauh dari keramaian yang betul-betul angker yang diperkirakan dapat digunakan untuk tempat besemedi memohon petunjuk kepada Sang Hyang Widi.

Hal itu dilakukan selama kurang lebih 40 hari 40 malam disertai puasa, dan hampir setiap malam ia harus menerima bermacam-macam godaan dan cobaan, namun ia tetap tabah dan sabar menghadapi itu semua , sehingga sampailah pada malam terakhir semedinya itu.

Dengan badan yang sangat lemah, kurus, muka pucat karna menahan bermacam-macam ujian, lapar,dahaga dan sebagainya, akhirnya ia tak sadarkan diri. Dengan keadaan rambut terurai panjang sampai kelutut putih lagi, janggut putih panjang , kulit keriput, wajah pucat pasi dan membawa sebuah tongkat dari kayu bertangkaikan tanduk rusa, tangan kanannya memegang sebuah tasbih, pelahan-pelahan menghampiri pertapa tersebut sambil menyampaikan kata-kata yang sangat mendirikan buluroma kedengarannya dan sangat keras sekali.

Hai cucuku bila kamu ingin apa yang menjadi harapanmu berhasil, kamu harus berani berkorban dan mempertanggung jawabkan dan di dalam kedung itu harus kami beri tumbal seorang tandak.

Kata-kata tersebut sangat mengagetkan sekali bahkan diulang beberapa kali akhirnya pertapa tersebut bertanya-tanya dalam hatinya, pengorbanan apa sebenarnya yang harus saya lakukan, sedangkan hal itu menyangkut jiwa manusia. Selanjutnya selama ia termenung, kemudian mengerti apa yang dimaksud. Akan tetapi ia masih ragu-ragu terhadap semua itu.

Kemungkinan kakek tadi mengerti apa yang menjadi angan-angan pertapa itu lalu ia berbicara lagi.

Kamu harus berani mengorbankan satu jiwa seorang perempuan tukan Tayub (Tandak) bahasa Jawa, dimasukkan kedalam kedunga yang akan dibendung tadi, tanpa dipenuhi permintaan atau persyaratan tersebut, tidak akan behasil semua apa ang menjadi harapan masyarakat.

Setelah kakek tadi mengakhiri kata-katanya tadi, ia tersentak dari semedinya dan sangat keheranan dari mana datangnya suara tadi.

Kemudian ia pulang kerumahnya, setelah dirumah ia termenung memikirkan semua apa yang akan bakal terjadi dikampungnya bila hal tadi betul-betul dilaksanakan.

Lalu ia mengundang tokoh-tokoh masyarakat dan pemuka agama setempat melaporkan dan menyampaikan hasil daripada semedinya, selang beberapa hari ia mendatangi kantor Gupermen dan melaporkan bahwa proyek tersebut bisa dilaksanakan lagi dan bisa berhasil dan sukses sesuai harapan bersama, namun harus didahului dengan mengadakan pertunjukan (Royalan) diatas lokasi bendungan selama 7 hari 7 malam.

 

Setelah semua persyaratan-persyaratan tadi disampaikan kepada pemerintah, kemudian pemerintah juga tidak keberatan untuk mengabulkan semua itu. Lalu ia mohon diri dan berusaha dimana ada perkumpulan tayu. Namun rencana itu semua serba rahasia, yang tahu cuma orang-orang terpenting yang ada hubungannya dengan pelaksanaan proyek itu.

Secara singkat terlaksanalah acara tersebut selama 7 hari dan 7 malam. Setelah mencapai akhir daripada pertunjukkan atau puncak pertunjukkan, sedang enak-enaknya Gandang sinamnya tandak, maka tandak tadi dimasukkan kedalam jurang Kedung sekalian bersama alat gamelan, begitu dimasukkan serentak yang hadir waktu itu beramai-ramai menutup kedung tersebut, yang akhirnya terlaksana dan berhasillah proyek bendungan itu.

Setelah selesai semuanya maka dilanjutkan peresmian dan syukuran atas keberhasilan proyek bendungan tersebut, yang dikenal dengan nama saluran Sungai Amprong sampai sekarang. Sebeluma acara ditutup, maka yang terakhir dibacakan do’a oleh Tokoh Agama sekaligus ia memberikan nama dua pedukuan tadi menjadi satu desa yang disampaikan antara lain :

Wahai kaumku, sesuai hasil yang kita capai sekarang, maka tercapailah apa yang menjadi idaman-idaman kita bersama membuat bendungan ini, maka dengan demikian bila sewaktu waktu nanti ramai-ramainya zaman, maka desa ini saya beri nama Kedung Gandang, yang artinya sebuah Kedung yang dimasuli / ditanami seorang tandak sedang gandang.

Selanjutnya untuk mempermudah sebutannya maka KEDUNG GANDANG ini saya beri sebutan : KEDUNGKANDANG.

 

Demikianlah cerita singkat asal muasal terjadinya nama desa Kedungkandang sampai saat ini